Rabu, 28 September 2011
RANCANGAN CINTA
suatu tempat, suatu masa
“Kamu jarang bicara ya, Ri. Kamu lebih suka diam mengamati dari balik kacamatamu itu,” komentar seseorang tiba-tiba padaku dan mengalihkan pandanganku dari sekelompok orang yang tampak begitu ramai dengan perbincangan yang tidak begitu jelas terdengar dari meja tempat kami duduk dan membuat keributan sendiri, aku menoleh pada rekanku yang memandangiku dari balik gelas minumnya sendiri.
Aku mengangkat sebelah alisku dengan tatapan bertanya –seingatku aku cukup banyak bicara. Bagus, rekan dan bossku mengawasiku dari gelasnya tertawa dan mengangkat gelasnya memberi salut padaku, “Kamu mengawasi mereka dengan tatapan penuh perhatian dan setia... kalo ada yang salah pengertian kamu bisa dituduh yang bukan-bukan.” Katanya yang membuatku mendengus kasar.
“Kebanyakan nonton film kriminal kamu,” balasku dari balik dengusanku sambil tatapan mataku kebali ke arah kelompok yang menarik perhatianku.
Bagus melingkarkan lengannya yang kekar ke pundakku dan leherku lalu mengisikan gelas minumku kembali penuh-penuh.
“Hei!” seruku dan menutup gelasku dengan telapak tangan dan menoleh pada Bagus dan mendapati wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Minum, kita kan lagi ngrayain kemenangan desainmu yang terpilih sebagai desain untuk gedung baru U-Central... Dan mengingat desainer top kita seorang yang suka melamun dan punya hobi yang tidak jelas begini kadang membuat orang suka salah pengertian” katanya.
Aku memberikannya seringaianku yang terbaik dan menepiskan tangannya yang memegang botol minuman untuk menghentikannya menuangkan minuman untukku.
“Kerja sesungguhnya baru dimulai, jangan lupa carikan aku drafter baru segera! Pembangun untuk proyek yang di Tensity dan yang di Mutiara membuatku sakit kepala...” Aku melotot pada direktur dan juga teman lamaku sekaligus boss kantor desain dan arsitektur Good Radiance tempatku bekerja sebagai desainer dan arsitek.
Aku memandangi gelasku dan memperhatikan rombongan yang baru masuk ke tempat ini dan nyaris saja aku menumpahkan isi gelasku sebelum aku meletakkannya ke meja. Insinyur Sipil yang tidak punya cita rasa seni itu muncul dalam rombongan yang baru masuk itu. Bah... aku memaki dalam hatiku. Baru kemarin kami bertemu dan dia sudah menguras seluruh energiku dengan bersitegang soal pipa dan kamar-kamar spa lalu sebelumnya soal kabel dan penempatan lampu untuk efek pencahayaan. Sungguh insinyur sipil itu benar-benar kelewatan dan sama sekali tidak ada rasa artistik. Dasar Filistin!
Aku mendengus ke gelasku lalu bangkit dari dudukku sambil meraih gelasku, “aku ke teras luar... need for a smoke” kataku pada Bagus.
Aku menyandarkan badanku ke railing teras yang sempit sambil memandangi gedung-gedung pencakar langit yang menyala sehingga malam bagaikan lautan cahaya dan begitu penuh dengan kehidupan ditambah dengan cahaya yang berasal dari kendaraan bermotor di bawah sana cukup memuaskan kesenanganku akan cahaya; aku menikmati cahaya, minumanku dan sigaretku dengan tenang sampai aku merasa seseorang telah bergabung dengan kesendirianku di teras yang sempit ini.
Aku melirik orang yang baru bergabung denganku dengan ekor mataku lalu kembali menyandarkan badanku pada railing teras.
“Hati-hati, kau bisa meluncur ke bawah kalau railing itu patah... padahal kau baru saja memenangkan proyek untuk U-Central dan aku baru bersiap-siap untuk mengajukan penawaran tender untuk proyek itu. Jangan membuatku melakukan hal yang sia-sia kalau kau tidak ada di sini sebagai arsiteknya...” katanya mengagetkanku dan membuatku tersedak.
“WTF! You asshole!!!”
“Watch out there... you might fall!” serunya dan segera meraih pinggangku dalam usahanya menahan tubuhku. Aku mendelik padanya dan segera mendorongnya menjauh begitu aku tidak begitu kaget lagi.
“Who’s fault then? Kamu membuatku kaget dengan omonganmu yang ngawur itu.”
Dia tertawa, “Ah, my favorite architect is return!”
“Filistin!” aku mendengus cukup keras untuk bisa didengar yang bersangkutan dan meliriknya untuk mendapati dia menatapku dengan seringaian lebar dan membuatku menyeringai balik padanya.
Kami berdiri bersebelahan dan memandangi gedung-gedung pencakar langit di hadapan kami sambil sesekali menghembuskan asap rokok kami dan menyesap minuman yang sudah tidak begitu dingin lagi.
“Tidak masuk lagi ke dalam? Kamu baru datang kan?” tanyaku setelah berapa lama kami berdiam.
Evans melirik ke dalam dengan tampang bosan dan ogah-ogahan,”Nah... itu kerjaan bos baru, aku ngga ada urusan dengan acara malam ini, tapi dia memaksaku untuk ikut, hmmmmph... sampai jauh-jauh datang ke Tensity menjemputku; padahal besok aku ada kunjungan inspektur bangunan di site”.
Aku mengangguk, aku tahu besok ada inspeksi proyek dari pengawas dan besok akupun bermaksud untuk meninjau pembangunan rancanganku, tapi aku tidak berniat mengatakan niatku itu pada insinyur sipil ini karena mungkin saja rencanaku berubah besok. Mengatakannya pada Evans sama saja dengan memastikan rencana itu.
Aku mematikan puntung sigaretku dan menegak habis minumanku dan merapikan syal di sekeliling leherku lalu memberikan senyumanku pada Evans yang masih memberengut memperhatikan bossnya yang minum-minum dengan bebas dengan para tamunya. Aku merasa prihatin karena pastinya Evans yang harus mengurusi bossnya pulang ke rumahnya malam ini. Bukan bersenang-senang melepaskan stress pekerjaannya tetapi malah overtime yang tidak ada harganya. Hell... urusanku sendiri masih cukup banyak untuk memprihatinkan keadaan orang, apalagi orang semacam Evans ini.
“Well, then Evans... gotta go. Am beat and need crash badly tonite... see ya!” aku melambaikan tanganku dan meninggakan teras itu dan bergabung dengan rombongan kantorku. Aku bicara sebentar lalu menepuk-nepuk pundak Bagus dan meninggalkan restoran dan bar itu.
Aku mendelik marah pada telepon yang berdering-dering ribut dan mengganggu konsentrasiku di meja kerjaku dengan dahi berkerut; tidakkah sekretaris di depan itu tahu kalau aku paling benci mengangkat telepon bila sedang bekerja, baik itu di komputer ataupun meja gambar atau justru membuat props iseng-iseng. Telepon bagiku hanya pengalih perhatian yang tidak penting.
Pintu ruanganku terbuka dan Bagus melongokkan kepalanya ke dalam, “Evans menelpon dan minta kau segera ke lokasi Tensity, ASAP!”
“Aku sibuk, suruh Santos yang ke sana; dia mengikuti seluruh rancanganku dengan baik.” Aku menolak sambil membalikkan tubuhku kembali menghadapi layar komputerku.
“Can’t do... kamu yang harus ke sana; Pak Bintoro sedang ada di sana bersama Evans”
Damn! Pak Bintoro!
“Panggilin aku taksi, aku ngga bisa nyetir dengan kepala penuh sekarang ini... “ Kataku sambil membereskan barang-barangku; aku nyaris berlalri keluar dari ruanganku dan mendelik pada sekretaris kantor yang berdiri cemas di belakang mejanya dan berhenti di depannya, “Jangan pernah menyambungkan telepon ke ruanganku untuk apapun itu... Sambungkan semua telponku pada direkturmu tapi jangan sekali-kali padaku. GOT it?”
Dia mengangguk dengan bibir bergetar, aku mendengus, “Meh...”
...
Aku memandang bangunan yang mulai menunjukkan karakter desain yang kuat yang kurancang untuk Tensity. Kulihat Evans dan Pak Bintoro bercakap-cakap di tepi proyek dan aku memakai topi proyekku dan melangkah mendekati mereka.
Pak Bintoro melihatku duluan dan tersenyum, “Kamu selalu terlihat tampak baru keluar dari majalah mode; segar, rapi dan modis...” sambutnya sambil menghampiriku, “Maaf memanggilmu kemari mendadak sedangkan kamu pasti sedang sibuk-sibuknya”.
Evans mengangguk padaku sambil melambaikan tangannya,”Yo... Ari...”
“Wussup?” tanyaku padanya dan menyalami pak Bintoro
“Inspektur bangunan kemari tadi malam, saat kami semua sedang menjamu tamu boss... dan kau sedang bersama perusahaanmu...”
Aku memandangnya heran,” Malam? Aneh... apa yang bisa dilihat pada malam hari?” Lalu aku menoleh pada Pak Bintoro, “Dan bapak? Ada sesuatu yang penting dengan pembangunan Tensity?”
“Tidak, tetapi aku mau kamu juga bertanggung jawab atas keseluruhan interior dan lansekapnya seperti proyekmu di Orange Junction, begitu luar biasa... “
Aku melongo memandang Pak Bintoro, interior dan lansekap? Keseluruhan penampilan? Biasanya memang aku akan dimintai pedapat untuk penampilan keseluruhan, tetapi menentukan seluruh penampilannya? Lalu aku tersenyum lebar, “Ah, tentu saja; saya akan berusaha!”
Evans mengangguk puas,”Aku tahu dengan karakter desain begini, hanya arsiteknya yang tahu bagaimana memberikan sentuhan penyempurnaan.” Katanya dengan puas, “Walaupun soal kabel seperempat dan pipa aku masih tidak puas... terlalu berlebihan, kita bisa bicarakan itu lagi, Ri”
“No way... tidak ada satupun dari desainku yang berubah demi kabel ataupun pipa!”
Pak Bintoro tertawa dan menepuk nepuk pundak kami berdua, “Baiklah... aku harus pergi, Ibu sudah menunggu di mobil, nanti malam jangan lupa... kami tunggu di Cirque, Ari... temani aku ke mobil...”
“Kau tidak akan beralasan yang bukan-bukan untuk nanti malam, kan? Aku sudah berjanji dengan ibu bahwa kau akan hadir nanti malam.”
“Ya, saya akan datang... “
“Urusan kerja pasti kau begitu sigap dan mudah sekali diajak bicara, begitu masuk urusan keluarga kamu pasti langsung seperti keong”
Aku tertawa kecil mendengar gerutuan Pak Bintoro, “This and that are different issues,” Jawabku setengah serius, “Lagipula, saya bukan anggota keluarga resmi” jawabku dengan senyuman profesional nomor satu yang biasanya tidak pernah berhasil hanya terhadap Evans dan Bagus tapi berhasil pada orang-orang lainnya.
“Bukan anggota keluarga resmi? Aneh... terakhir aku masih melihat namamu dalam daftar keluarga Bintoro yang dibuat pengacara”
Aku menyeringai dalam hati tapi tetap menampilkan senyuman profesional nomor satuku, “Yah Bapak, ini dan itu kan dua hal yang berbeda...Tetapi pasti, nanti malam saya akan datang ke Cirque”
“Ibu mengeluh, kalau kamu sama sekali tidak bisa dihubungi”
Aku tertawa kecil, “Maaf... saya tidak suka telepon, semua komunikasi saya ditangani oleh Bagus atau kantor”
Pak Bintoro memandangiku lalu menggeleng-gelengkan kepalanya lalu dia memasuki mobilnya, “Ah... pastikan saja nanti malam kamu tidak absen, kita sudah lama tidak makan bersama”
Aku mengangguk dan sedikit membungkukkan badanku, “Salam buat ibu dan sampai nanti malam”
Evans berbincang dengan salah satu mandor lapangannya dengan serius dan aku menghampiri mereka sambil ikut memandangi kertas kerja yang dibentangkan oleh Evans.
“Problems?” tanyaku
“Nah... hanya masalah logistik di sana sini, suplayer yang ditunjuk boss mengacaukan jadwal dan kadang material yang dikirim tidak sesuai dengan PO atau malah jauh dibawah kualitas yang kita order” jawab Evans sambil mencoretkan beberapa hal pada lembar kertasnya sendiri.
“Belum lagi beberapa pencurian material dan banyak pekerja yang absen untuk mengerjakan proyek pribadi boss...” keluh mandor lapangan
Aku tidak berkomentar dan hanya memandangi Evans. Evans mengangguk, “Telpon balik orang suplayer ini dan bilang ada kesalahan pengiriman... Hell... sudah kesekian kalinya dalam proyek ini... Begitu juga dengan proyek kita di Mutiara... semuanya ngga ada yang beres”.
Seingatku boss Dwikara Konstruksi yang baru, Heru Argawa selalu tampil ekstravagan, mobil sport impor terbaru, mengadakan pesta-pesta mewah, entah itu istrinya yang bintang televisi atau anaknya yang baru sekian tahun dan bahkan untuk anjing pom-nya yang menyebalkan. Berbeda dengan pak Argawa tua yang sedehana.
“Sejujurnya... dua proyek ini akan menjadi proyek terakhirku dengan Dwikara; aku akan membuka konstruksiku sendiri” kata Evans sambil membuka kaleng minuman dingin dari cooler box besar di mobilnya dan menawarkannya padaku. Lalu mengambil satu lagi untuknya sendiri.
Aku meliriknya, “Good... sudah waktunya, walau aku ragu kamu bisa menangkan tender untuk rancangan desainku di masa yang akan datang...” balasku dengan seringaian lebar, “paling tidak sampai beberapa saat aku tenang dan tidak harus adu urat untuk soal kabel atau baja”
Evans menggetok kepalaku dengan pelan, “Smartass aren’t ya?” dengusnya jengkel dan aku terbahak mendengar nada gerutuannya.
“Ada apa soal pak Bintoro tadi? Kau tampak berbeda saat sendirian dengannya tadi?”
Aku meliriknya, “Bukan untuk konsumsi umum memang, tetapi ibuku menikah dengannya beberapa tahun lalu, hubungan kami di luar pekerjaan adalah hubungan keluarga”.
Evans memandangku dan dia menepuk-nepuk pundakku dengan pelan tapi tegas tanpa bicara apa-apa lagi.
“Aku sedikit tidak puas dengan mandor malam yang ditunjuk boss, tapi Heru terus mengatakan dia mempercayai orang itu, mungkin lebih baik memastikan orangku sendiri untuk mengawasinya diam-diam; segala pencurian dan salah PO itu sudah sangat mencurigakan”
Aku melirik Evans, “Apa rencanamu kalau kecurigaanmu terbukti?”
Evans menggaruk garuk kepalanya, “Ngga tau... jangan tanya apa yang akan kulakukan, karena aku ngga tahu apa yang harus kulakukan kalau semua itu terbukti, tetapi pada tingkat ini, aku benar-benar kasihan pada Bapak; usaha yang dirintisnya dari nol menjadi sia-sia akibat tindakan ceroboh Heru”.
Aku mengangguk dan mengerti... sangat mengerti dilema yang dihadapinya, tetapi kelakuan Heru sebagai penanggung jawab dan pemimpin sebuah perusahaan sangat tidak bertanggung jawab terutama terhadap para pekerjanya. Aku mengalihkan perhatianku pada laptopku dan pada hitungan dan desainku untuk Tensity; ada masalah dengan desain dan perhitungan teknisnya.
Suara dengungan AC ditambah dengan suara-suara mesin cor atau ketokan palu serta sesekali terdengar suara berat Evans memberikan pengarahan atau tertawa dengan para pekerjanya. Aku bisa membayangkan tubuhnya yang ramping berotot itu basah oleh keringat; sedikit membuatku merasa iri padanya, pada staminanya di tengah terik matahari dan kelembaban tinggi seperti ini pasti membuatku merasa layu.
Udara yang panas tidak menjadi lebih dingin oleh AC di dalam ruang bedeng yand dijadikan kantor ini membuatku ingin memejamkan mataku sejenak
“Sejenak saja...” janjiku pada diri sendiri
***
Aku tersentak kaget saat kurasakan tatapan yang memperhatikanku dan aku benar-benar terlonjak saat mengetahui bahwa Evanslah yang memperhatikanku dengan seksama, aku mendengus dan merapikan sedikit rambutku yang menutupi mata, “Kau membuatku kaget” aku menggerutu
Evans tersenyum, “Pak Bintoro memang benar...”
Aku menatapnya dengan pandangan bertanya
“Dalam keadaan apapun kamu seperti baru melangkah keluar dari majalah mode,” jelasnya dengan cengiran lebar yang membuat wajahnya tampak sedikit kekanak-kanakan.
“Aku hanya suka rapi,” sahutku
Evans mendekatiku dan mendekatkan wajahnya pada wajahku, kulihat lapisan keringatnya mengkilap dan iris matanya yang berwarna keemasan, terendus olehku aromanya yang bau dengan peluh dan matahari membuat jantungku berdetak lebih cepat
“Membuatku ingin mengacak-acakmu sedikit,” gumam Evans tanpa memperhatikan apa yang diucapkannya, aku mengangkat tanganku dan menahan wajahnya, walaupun aku tahu wajahku merona dan mustahil hal itu akan lolos dari pengamatan Evans; aku mengerutkan keningku dalam-dalam padanya.
Evans menghela nafasnya dan menjauh sedikit, “Suatu saat nanti, berhentilah melarikan diri dariku dan menyerah secara jantan”.
“Tidak mungkin” jawabku datar dan menepiskan tangannya yang menangkap tanganku. Evans mundur dan memberiku ruang dan membuka coolingbox berisi minuman dingin dan mengambil sebuah kaleng jus aku menggeleng saat dia menawarkan minuman padaku.
“Say, Ri... sudah berapa tahun kita saling mengenal?”
Aku menatapnya heran, “Tiga tahun? Sejak proyek Pinnacle Tower seingatku”
“Ya, itu resminya, terus terang aku mulai memperhatikanmu sejak Bagus dan kamu keluar dari Nou Riche; kupikir sepasang orang gila atau pemberani gila yang keluar dari rumah desain sekaliber Nou Riche dan membuat rumah desain sendiri; tetapi aku setuju kalian keluar dan membebaskan rancangan desainmu yang elegan, tentu saja kamu orang yang sulit diajak kompromi; namun hasilnya adalah kesempurnaan,”
Aku menatapnya dan Evans menoleh sambil mengangkat bahu dan memberiku senyuman lembut “Ya, aku sudah memperhatikanmu sejak itu, “ Evans tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, “tentu saja banyak insiyur sipil memperhatikanmu terutama setelah kamu memenangkan penghargaan demi penghargaan untuk setiap rancangan dan desainmu; tetapi aku merasa bangga bahwa kamu berhasil memantapkan posisimu justru keluar dari Nou Riche”
“Kau membuatku merinding dengan obsesimu”
Evans terkekeh dan menenggak kaleng minumannya dengan suara ramai, “Begitu mengenalmu, bekerja sama denganmu menciptakan karya karya spektakuler, terus terang aku semakin memahami perasaanku yang menurutmu obsesif itu padamu...”
Aku mendekatinya, dan menjulurkan kedua tanganku menangkupkan wajahnya dan mendekatkan wajahku padanya, lalu mengecup bibirnya dengan suara sama ramainya saat dia menenggak minumannya,, aku tersenyum miring pada wajahnya yang terkejut memandangku, “Kau takkan pernah melihatku tampil acak-acakan...” kataku dan melepaskannya, “C’mon... kita pergi makan dengan ibu dan ayah tiriku”.
Aku memperhatikan Evans yang begitu santun memperhatikan celoteh ibuku sementara aku sendiri hanya sedikit bercakap cakap dengan Pak Bintoro terutama sekali mengenai proyek yang sedang kami kerjakan.
Tiba tiba ibuku mengalihkan perhatiannya padaku dan menatapku dengan tatapan bahagia dan aku memandangnya dengan mengangkat kedua belah alisku bertanya
“Ari... kamu memiliki teman yang sangat manis dan perhatian.. . ah aku lega akhirnya kamu memiliki teman yang memperhatikanmu benar-benar”
“Mam...” aku berusaha memotong kata-kata ibuku
“Selama ini aku khawatir; karena Bagus terlalu sibuk dengan urusan kantor dan memberikan proyek-proyek padamu tanpa memperhatikan keadaanmu atau memperhatikan kebutuhanmu... aku perlu bertemu Bagus lagi untuk menasihatinya agar tidak membebanimu dengan kerjaan!”
“Mam...” lagi lagi aku gagal menyela celoteh ibuku
Evans tersenyum padaku penuh kemenangan melihatku terpojok dan Pak Bintoro mengangguk-anggukkan kepalanya penuh persetujuan atas omongan ibuku, aku melotot marah pada si biang kerok yang malah mengangkat gelas minumnya.
OH CRAP!
Aku terbangun dengan perasaan jengkel oleh suara dering telepon yang menuntut perhatian, tetapi aku segera terduduk kaget saat sebuah tangan terjulur mengangkat telepon yang terletak di meja sisi tempatku tidur. Aku melirik pemilik tangan yang menjawab teleponnya denga suara berat dan kasar khas orang yang baru terbangun dari tidurnya, aku hendak bergelung lagi di balik selimutku sebelum kesadaran menghantamku seperti gelombang tsunami...wait wait wait...! kenapa aku dan pemilik tangan itu bisa ada pada satu ranjang?
“WTF! Kamu bicara apa? Tunggu di sana, aku akan segera pergi, jangan coba coba pergi sebelum aku datang...!” Evans setengah berteriak dan membanting telepon ke tempatnya, dia mengangkat alisnya melihatku sudah rapi kembali.
“Ada masalah di site? C’mon man... haul ass!” kataku sambil menyampirkan syal sutra dan membuka lemari es dan mengambil sebotol air mineral, “Aku akan hubungi resepsionis untuk menyiapkan taksi” . Evans mengangguk dan segera menuju kamar mandi sementara aku menghubungi resepsionis untuk menyiapkan taksi bagi kami berdua.
Kami menuju site proyek tanpa banyak bicara di dalam taksi dan bangunan yang belum jadi menjulang tinggi di tempatnya membuat kesan angker perlahan-lahan semakin jelas dan semakin menyeramkan, segala kegiatan fisik selama siang hari kini seolah-olah mati dan kami berada di setting masa depan, aku merasa bulu kudukku berdiri, ada sesuatu yang tidak pas di sini.
Evans berjalan mondar mandir dengan gelisah, dan saat itu bayangan seseorang mendekati kami berdiri, dia memandangku ragu-ragu dan dan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin, “Mulailah, kita ngga punya waktu semalaman di udara terbuka begini, shoot!” sentakku dengan kesal.
“Maaf, maafkan saya, Pak Evans... semua yang aku lakukan atas instruksi pak Heru, kami diminta menghubungi inspektur pada malam hari dan dia akan mengatur bagaimana bapak tidak ada di tempat saat inspeksi dijadwalkan, saya tadinya akan diam saja, tapi pak mandor begitu baik saat istriku kecelakaan kemarin, dan...dan... saya malu”.
Aku menyentuh lengan Evans yang tinjunya terkepal, dan segala kecurigaan yang selama ini menggantung di atmosfer terbukti, “Bagaimana dengan Mutiara? Sama juga?”
“Ti.. tidak pak! Mutiara masih belum dimulai, tetapi indikasinya pak Heru juga akan melakukan hal yang sama...”
Evans menghantamkan tinjunya ke tiang dengan sekuat tenaga, dan pegawai itu mengkeret di hadapan Evans dengan tubuh bergetar, tetapi tidak melarikan diri.
“Kau bersedia bersaksi atas segala kejahatan dan perbuatan yang dilakukan walaupun kamu sendiri akan terkena karena kamu terlibat langsung?”
“Saya bersedia, demi istri saya dan pak mandor,”dia mengangguk anggukkan kepalanya dengan semangat.
“Evans... apa yang akan kamu perbuat?” tanyaku setelah kami tinggal berdua dan aku menyalakan sigaretku dan menghembuskan asapnya ke udara malam, aku memandangi bayangan tinggi dan besar di hadapan kami dengan sesekali mengisap sigaretku dalam-dalam. Dan perasaan tidak enakku tidak mau hilang saat melihat bangunan setengah jadi ini.
Evans memandang gedung yang belum jadi menjulang tinggi di terpa cahaya lampu jalanan, dia menggelengkan kepalanya, “Begitu banyak material yang tidak sesuai dengan standar, begitu banyak tenaga dan pikiran yang terbuang percuma, demi onggokan tinggi seperti ini, Fucking asshole!”
Aku merapatkan syal sutraku dan bersidekap sambil memandang rancanganku yang setengah jadi, “Apa yang akan kamu lakukan?” aku megulangi pertanyaanku padanya
“Aku akan menemui si baka Heru; bagamanapun, aku masih menghormati Argawa tua dan perusahaan yang dibangun dari kecil tidak boleh hancur begitu saja gara gara ulah Heru yang tidak tahu diri itu”.
Aku melirik jamku, baru jam satu lewat tengah malam, aku rasa sang pembangun masih merayakan pesta atau baru selesai merayakan pesta entah apa lagi di rumahnya, “Let’s go”
Aku memandangi sosok menyedihkan Heru dengan memasang tampang tidak merasa tertarik dan bosan. Dia berkeluh kesah ini dan itu, sambil matanya melirik kanan dan kiri dan gerakan mulutnya yang lemah terkadang terlihat menegang yang membuatku menatap orang itu waspada karena perasaan tidak nyamanku kembali dengan kekuatan penuh.
Evans menangkupkan kedua tangannya dengan mata menatap Heru yang duduk dengan gelisah, “Apa yang kamu bilang? Melaporkanku ke polisi? Komisi anti korupsi? ...Evans...”
“Bukti-buktinya sudah kami miliki, tetapi demi Pak Argawa, aku memberimu kesempatan untuk mengakui seluruh perbuatanmu sendiri sampai besok pagi jam sebelas, cukup banyak waktu untuk memikirkannya, Ru...”
Mulut Heru terlihat menegang dan dia menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya, “Sonya mulai terkenal dan mulai dikenal di dunia televisi... dia...dia...”
“Aku tidak perlu mendengar semua alasanmu itu, kamu sudah mempertaruhkan nyawa orang-orang dengan tindakanmu ini, Pak Bintoro sudah kami kabari mengenai perbuatanmu ini, dan aku pikir kamu harus menyerahkan diri sendiri pada polisi, dan itu bisa meringankan hukumanmu...”
Heru mengangguk lemah, “Please... jangan laporkan dulu, aku... aku akan memikirkannya dan jangan bilang apa-apa pada Sonya...”
Evans mendengus, “As if!”
Kami meminta supir taksi kami untuk berkeliling dahulu; kami menyelusuri jalanan dengan dipenuhi pikiran sendiri-sendiri dan memandang keluar jendela sebelum kami kembali ke hotel tempat kami menginap selama di kota ini, aku melihat ke arah jam digital di dasbor taksi, sudah menunjukkan pukul tiga lewat, dan aku melihat semburat kemerahan mulai muncul di langit malam yang mulai sedikit terang.
“Kita kembali dulu ke site dulu...” kata Evans tiba-tiba memecah kebisuan di antara kami berdua, aku memandangnya dan mengangguk, bagaimanapun, Tensity adalah proyek kesayangannya.
Kami melangkah bersama menyusuri bangunan yang kini kesannya ditelantarkan, “Apa yang akan terjadi?”
“Dihancurkan setelah penyelidikan selesai, lalu terserah pada pak Bintoro apakah mau melanjutkan proyek ini atau tidak, tetapi pihak Dwikara tentu saja akan mengganti atau bekerja tanpa dibayar karena sirkus sialan ini!”
“Aku bisa membayangkan, betapa indah tempat ini nantinya, mengundang dengan kehangatan, menawarkan kenyamanan dan tempat yang menawarkan naungan untuk pencari ketenangan...”
Aku mengikutinya dan terdiam lama, “Kamu begitu menyukai rancangan Tensity ini dibanding Mutiara... atau rancanganku yang lainnya”
Evans berbalik dan mengambil sebelah tanganku yang digenggamnya erat-erat dan menarikku untuk berjalan lebih dalam lagi ke area bangunan itu, menuju kubah bangunan Spa yang setengah jadi, kami bergandengan tangan atau mungkin lebih tepatnya Evans menggandengku berjalan.
“Seharusnya tidak perlu pakai keystone rumit dan tidak perlu kubah begini, mahal dan sulit!”
“Itu kan pekerjaanmu dan tanggung jawabmu untuk membuatnya menjadi indah, you asshole!.. ngga usah pake alasan ini itu... “
Evans melirikku dengan senyuman yang membuat hatiku terasa pedih dan nyeri oleh senyuman itu dan aku mendekatinya, terdorong oleh keinginan dan tatapan matanya yang begitu sedih, dan aku menjulurkan tanganku yang bebas dan menyentuh pipinya yang mulai ditumbuhi oleh rambut-rambut halus.
“Kita akan membangunnya kembali, aku bisa meminta favor dari orang tua itu...”
“Aku paling menyukai rancangan yang ini, menonjolkan kesederhanaan di tengah-tengah kesulitan tinggi, sederhana tetapi tidak ada yang sederhana pada rancanganmu.” Dia menutupi tanganku yang menyentuh pipinya.
“Ari... “ Kata-katanya terputus dengan suara ledakan sekali di dalam bangunan dan disusul suara gemuruh dan getaran, dan kami terpaku di tempat.
Tiba-tiba dia bergerak cepat mendorongku keluar dan berlari menyeretku segera keluar dan aku mengikutinya dengan langkah tersaruk-saruk di belakangnya dan Evans menarikku kuat-kuat
“Cepat, cepat, dammit!”
Aku mendengar suara ledakan kedua lalu ledakan ketiga
dan aku.................................
.......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar